TERDAPAT pandangan bernada miring menganggap agama-agama (monotheis) sebagai biang keladi munculnya krisis lingkungan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan banyak orang. Agama monotheis dituding merupakan pendukung utama nalar antroposentrisme yang menyebabkan krisis lingkungan, karena memberikan keistimewaan kepada manusia dengan akalnya, sehingga lebih tinggi kedudukannya daripada alam dan anggota ekosistem yang lain. Bahkan agama-agama monotheis tidak segan-segan mendeclarasikan bahwa alam diciptakan sebagai daya dukung kehidupan manusia.
Moralitas yang demikian pada akhirnya menginspirasi manusia untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya untuk kepentingannya. Jika agama sumber utama moralitas etis, tetapi ternyata menginspirasi tindakan eksploitasi alam, masihkah agama mendapat tempat untuk etika lingkungan? Tulisan ini hendak menepis anggapan miring tersebut di atas, sembari menaruh harapan pada agama sebagai basis etika lingkungan global.
Penyebab krisis lingkungan? Hampir tak terbantahkan, nalar antroposentrisme merupakan penyebab utama munculnya krisis lingkungan. Antroposentrisme merupakan salah satu etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya. Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia ( the other ) hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun sulit terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi berdaya menahan gempuran keserakahan manusia.
Akar antroposentrisme disebut-sebut bersumber dari dua tradisi pemikiran, yakni agama-agama monotheis dan alam pikiran modern. Dari agama, misalnya didasarkan pada Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26- 28 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Dari sinilah seorang pemikir seperti Thomas Aquinas menyebut bahwa manusia berada pada posisi yang terdekat dengan Tuhan, bahkan manusia merupakan imago Dei , sementara makhluk selain manusia (alam dan ekosistemnya) begitu jauh dengan Tuhan.
Ungkapan tersebut serupa dengan posisi manusia sebagai khalifah Tuhan yang terungkap di dalam Alquran, misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 30 dan Al-Fatir ayat 39. Karena kekhalifahannya, manusia juga diberi fasilitas kehidupan berupa apa-apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya ditundukkan untuk kepentingan manusia. Hal ini terungkap misalnya pada Surat Luqman ayat 20 dan al-Jatsiyah ayat 13.
Sementara dari alam pikiran modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama (F. Budi Hardiman: 2003).
Dari kesadaran essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini.
Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan. Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan.
A Sonny Keraf (2002) secara jitu ia menunjukkan bagaimana negaranegara maju menerapkan strategi ekonominya untuk terus menjajah dunia ketiga melalui organisasiorganisasi ekonomi dunia. Strategi itu dimainkan oleh World Bank, IMF, dan WTO dengan berbagai institusinya (GAAT, TRIPs, dan GAT).
Mereka mengeruk kekayaan alam dan kekayaan intelektual dunia ketiga dengan menciptakan ekonomi global dan pasar bebas. Alih-alih ramah terhadap lingkungan, lembaga-lembaga tersebut juga tidak ramah terhadap manusia penghuni dunia ketiga, karena hanya menjaga agar tidak ada ”pemain” yang dirugikan.
Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian).
Pandangan etis yang dikemukakan oleh berbagai etika lingkungan di atas, agaknya pondasi etisnya akan mudah rapuh, karena tidak melibatkan meminjam bahasa Hans Kung (1991) etika bersama yang mengikat secara transenden, yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya memiliki garis vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu hendak dibangun?
Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya agama mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia, agama juga merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mudah -untuk tidak mengatakan tidak mungkin-tergantikan oleh ideologi lain, baik humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Agama, nampaknya tampil dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, di mana pun, kapan pun, dan dalam hal apa pun.
Karena agama apa pun namanya memiliki keyakinan pada Yang Absolut, maka diyakini mampu memainkan peran sebagai basis etika bersama yang mengikat secara transenden sebagaimana penulis maksudkan. Etika transenden itulah yang memungkinkan bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, normanorma tak bersyarat, motivasi terdalam, serta ideal-ideal tertinggi.
Kembali kepada landasan etis agama bukan sedang menganjurkan ke arah gerakan revivalisme agama, apalagi yang sektarian, sebagaimana pernah ditunjukkan oleh revivalisme Islam.
Melainkan hendak merumuskan, sekaligus mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi upaya mengatasi krisis lingkungan yang mengikat secara transenden. Etika bersama ini tentu saja dibangun dari agama transformatif yang menyejarah, yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.
Kasus Lapindo, Fakta Kegagalan Supremasi Hukum
Lumpur panas di lokasi pertambangan PT Lapindo Brantas Inc tak kunjung henti, meluas, dan menerjang kawasan sekitarnya.
Jakarta (28/11)- Dampak lumpur Lapindo makin meluas. Selain menggenangi ruas tol Porong-Gempol, luberan lumpur membanjiri Desa Kedung bendo dan Renokenongo. Titik terang penyelesaian makin rumit. Hal ini terindikasi pasca ledakan pipa gas Pertamina di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (22/11). Sekitar 300-400 orang masih bertahan di kedua perkampunganwarga tersebut. Kini,evakuasi warga menjadi prioritas pokok Tim.
Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo.
Saat ini, korban lumpur Lapindo menempati Pasar Baru Porong, Sidoarjo, sebagai rumah tinggal sementara. Hingga kini, mayoritas warga yang menjadi korban lumpur Lapindo kebingungan. Derita materiil yang diganti, tak sebanding dengan total kerugian non-materi yang diderita. Hal ini menambah rumit persoalan warga sekitar PT Lapindo Brantas Inc. Lebih-lebih lagi, pasca jebolnya tanggul lumpur akibat pipa gas Pertamina yang meledak. Jalur transportasi massal, seperti tol dan rel kereta api, terancam tak berfungsi. Dengan demikian, jalur utama jalan darat ke arah selatan dan timur Surabaya lumpuh.
Dikabarkan bahwa kebutuhan gas Jawa Timur yang dipasok Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebesar 130 mmscfd (juta kaki kubik per hari) praktis berkurang. Kini, pasokan gas hanya berkisar 45 mmscfd. Kerugian pun tak terelakkan. Petrokimia Gresik, PLTGU Gresik, PT Ajinomoto, PT Miwon, Surabaya Agung Kertas, Chiel Samsung, dan Sasana Inti, adalah sederet pelanggan PGN yang merugi.
Semburan lumpur yang meluas, sejak 29 Mei 2006 lalu, merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan kejahatan lingkungan PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada (EMP). Dalam pengamatan WALHI, semburan lumpur terjadi akibat PT Lapindo Brantas Inc. (EMP) tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8’, yang menjadi standar keselamatan pengeboran. Akibatnya, lumpur panas sebesar 150.000 m3/ per hari, yang mengandung fenol (gas kimia beracun), menenggelamkan wilayah sekitarnya.
Dalam pengamatan WALHI, PT Lapindo Brantas Inc/PT Energi Mega Persada (EMP) telah melakukan aktivitas kejahatan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitarnya. Betapa tidak, setiap harinya lumpur panas ini terus bertambah sekitar 150 ribu m3, hingga 6 bulan berselang, lumpur menenggelamkan permukaan bumi Porong lebih dari 7 juta m3 dan menggenangi lebih dari 300 ha lahan masyarakat, meliputi persawahan, pemukiman, dan fasilitas umum lainnya, seperti sekolah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya.
Lebih dari itu, menurut analisa lingkungan yang diprakarsai Bappedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc., disebutkan bahwa lumpur yang menggenangi lebih dari 5 perkampungan warga mengandung konsentrasi fenol yang melebihi ambang batas. Misalnya, dengan konsentrasi pada air, 46mg/1, 50% populasi ikan mas mati. Selain itu, fenol merupakan racun bagi tumbuhan air, meski dalam kadar yang minimal, dapat diurai oleh mikroorganisme. Pada titik ini, dapat disebutkan betapa berbahayanya bila lumpur di buang ke laut. Tak hanya itu, kadar fenol yang melebihi batas normal amat rentan bagi kesehatan manusia. Hal ini sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3.
Dari aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menurut WALHI, PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Dalam pada itu, 6 bulan berlalu, penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.
Dalam pengamatan WALHI, pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.
Mengamati lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya /public inquiry/. Suatu upaya yang dapat ditempuh oleh masyarakat (melalui DPR) guna meminta pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc. Dalam pada itu, jaksa agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas. Melalui public inquiry, masyarakat menjadi tahu dan meyakini adanya proses penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo. Terlebih, berkaitan dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab secara politik dan hukum.
Mengawalinya, PPNS KLH (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil–Kementrian Lingkungan Hidup) melakukan penghitungan lapangan, dengan mendata kerugian materiil dan imateriil akibat kasus lumpur Sidoarjo. Selanjutnya, KLH dapat mengajukan gugatan perdata terhadap PT Lapindo Brantas Inc. Sayangnya, upaya ini tidak dilakukan oleh KLH.
Oleh karena itu, WALHI meminta Pemerintah Republik Indonesia segera:
Pertama, mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, dengan membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas.
Kedua, PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas.
Ketiga, aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi pemegang saham, dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP Migas.
Keempat, Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas, bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah.
Kelima, mengkaji ulang seluruh perundang-undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama.
Keenam, melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.
Tindakan Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas (Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup di Sidoarjo, Jawa Timur)
Telah satu bulan lebih sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sepertinya belum tampak tanda-tanda siapa yang harus bertanggung jawab.
Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. Kompas edisi Senin (19/6/06) melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas.
Seperti kita ketahui bahwa hak konsesi eksplorasi pada Blok Brantas PT. Lapindo Brantas diberikan oleh Pemerintah Pusat sementara ijin konsesinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang pada perkembangannya Pemerintah Daerah Sidoarjo malah memberikan keleluasaan kepada PT. Lapindo Brantas untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo tidak kompatibel terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.
Selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli ITS yang membidangi penanganan lingkungan menyatakan bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Dia menjelaskan lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang, bila menumpuk di tubuh, bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Selain itu, jika masuk ke tubuh anak secara berlebihan, bisa mengurangi kecerdasan. Lily mengatakan, berdasarkan analisis sampel air di tiga lokasi berbeda, dari 10 kandungan fisika dan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg (Koran Tempo, 16/6/06).
Selain panas, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur yang diambil 5 Juni dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur terdapat fenol. Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof Mukono menjelaskan, fenol berbahaya untuk kesehatan. Kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal. Efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol, kata Mukono, bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal (Kompas, 19/6/06).
Ivan V. Ageung, Manajer Pengembangan Hukum dan Litigasi WALHI, menyatakan bahwa dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup, tragedi lumpur panas PT. Lapindo Brantas dinyatakan sebagai kejahatan korporasi, dengan unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran.
"Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut," tegas Ivan V Ageung. (selesai)
0 I want know real education:
Posting Komentar